Bagaimana Mengenalkan Baca-Tulis Kepada Siswa?

Saya diamanahi Makmal Pendidikan Dompet Dhuafa untuk mendampingi kelas literasi di sebuah madrasah di Kepulauan Seribu, Jakarta. Tugas saya adalah menghadirkan cara literasi yang menyenangkan bagi warga sekolah ini.
Ternyata mengajak guru-guru menerapkan display kelas dan membudayakan kelas literasi tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Ada beberapa faktor penyebabnya. Pertama, guru sulit menerima perubahan. Kedua, guru malas untuk melakukan sedikit hal yang menyenangkan bagi anak-anak ketika mengajar. Ketiga, bisa jadi guru malu bertanya dan sulit memahami makna dari kelas literasi dan display kelas.
Menjawab tantangan itu, saya mengambil jalan memengaruhi guru-guru dengan bersenjatakan anak-anak. Saya mengajak anak-anak untuk membiasakan membaca sebelum masuk kelas atau sembari menunggu pergantian kelas yang memakai sistem shift untuk kelas 1 (karena keterbatasan ruangan), serta untuk kelas 2 dan 3 yang tidak bersekat antara kelas yang satu dan lainnya.
Betapa terkejutnya saya ketika menemukan banyak anak yang belum lancar membaca. Bahkan ada yang masih mengeja untuk seumuran kelas 3 SD. Walaupun begitu, mereka cukup antusias mendapati buku-buku baru yang banyak terdapat gamba menarik.
Awalnya memang cukup susah untuk mengajak anak-anak itu mau membaca. Banyak alasan yang dilontarkan; malaslah, tidak maulah. Tapi, saya tak kehabisan semangat dan ide. Saya yang mengawali membaca di luar kelas, di bawah sebatang pohon yang rindang dan terdapat saung bambu kecil. Cara ini sengaja saya lakukan untuk menarik perhatian mereka.
“Anak-anak, siapa yang mau ikut Ibu membaca? Ayo mendekat ke sini!”
Sekitar tiga orang anak menghampiri. “Saya, Bu! Saya, Bu!”
Ketiganya menghampiri saya seraya mengacungkan tangan.
“Baiklah, sekarang pilih dan ambil buku mana pun yang kaliann sukai di rak.”
Tak lama mereka kembali lagi dengan membawa buku bergambar dengan cerita masing-masing berbeda.
“Siapa yang mau memulai dulu?”
“Saya, Bu!” Ismail mengajukan diri.
“Baca yang keras ya, Nak!”
Saya pun mulai menyimak bacaan Ismail. Bacaannya masih terbata dan belum memahami tanda baca antara titik dan koma ataupun bagaimana cara membaca dialog dalam tanda petik.
“Begini, Nak, coba perhatikan tanda titik dan komanya. Membaca cerita itu sama halnya dengan ketika mengaji lho. Ada tajwidnya juga.”
“Ketika ada tanda kutip dua,” lanjut saya seraya menunjukkan tanda kutip dua pada halaman buku, “maka kita membacanya seperti sedang berbicara dengan orang.”
“Ah, Bu… malu, seperti sedang drama saja,” jawab Ismail sambil tertawa.
“Ayo, dilanjutkan bacanya.”
Saya pun kembali menyimak bacaan Ismail. Jika cara membacanya salah, saya langsung memperbaikinya dan menyuruhnya mengulangi lagi. Karena terlalu fokus dengan Ismail, tanpa saya sadari di sekeliling saya berubah menjadi kerumunan anak kelas 1.
Rupanya perhatian mereka tertarik sewaktu saya sibuk mengajari Ismail.
“Bu, saya bisa, Bu membaca seperti yang Ibu contohkan tadi!” Seru salah satu siswa.
“Oke, baiklah. Siapa lagi yang ingin ikut membaca bersama Ibu?”
“Saya, Bu! Saya, Bu!” Hampir semua anak mengacungkan tangan.
“Kalau begitu, ambil buku kalian di kelas.”
Mulailah mereka bergiliran membaca dan meminta saya untuk menyimak. Yang belum mendapat giliran, akan dilanjutkan keesokan harinya.
Kegiatan bersama Ismail dan kawan-kawannya itu merupakan awal saya mengajak anak-anak membaca. Hasilnya cukup efektif untuk memengaruhi anak kelas 1. Yang tidak saya sangka adalah ada satu anak yang masih mengeja dalam membaca. Dia menghampiri saya untuk dituntun membaca. Belakangan baru saya ketahui dia merupakan murid kelas 3.
Agar kelas literasi berjalan dengan baik, saya berinisiatif mengubah pola membudayakan literasi pada anak. Tidak hanya terus-terusan membaca, tapi saya membungkusnya dengan membuat display pojok baca. Saya mengajak anak-anak kelas 2, 3, dan 4 untuk membuat display kelas dengan ide rancangan dan kata-kata dari mereka sendiri. Saya hanya sebagai fasilitator dan pendamping mereka. Saya sebatas mengajarkan cara membuat perencanaan dan rancangan display yang akan dibuat. Hasilnya, menakjubkan! Pojok baca disulap sangat cantik dan terciptalah nama “Kelas Kreatif” yang mereka tempel di pintu kelas.
Melihat adanya keindahan mendadak di kelas 4, timbul kecemburuan dari kelas yang lain. Kelas 3 meminta saya untuk menemani mereka membuat hal yang sama keesokan harinya, kebetulan wali kelas mereka sudah beberapa hari tidak masuk. Sama halnya seperti kelas 4, saya hanya menjadi fasilitator dan pendamping mereka. Semua ide dan rancangan seutuhnya saya serahkan pada mereka.
Sekali lagi, sungguh di luar dugaan saya, mereka benar-benar belajar literasi yang menyenangkan. Dalam display itu mereka tidak hanya menuliskan kata yang sopan namun terdapat beberapa puisi dan kata-kata positif. Lalu terciptalah sebuah kelas bernama “Kelas Imajinatif”. Yang menarik, pada display terpajang amplop surat yang isinya akan diganti seminggu sekali oleh masing-masing anak kelas 3.
Melihat dua kelas yang lain sudah menampakkan kecantikannya, kelas 2 pun tak mau kalah ‘iri’. Mereka meminta saya membuat hal yang sama. Saya pun mengajak wali kelas mereka untuk membersamai siswanya membuat display pojok baca. Namun karena ada suatu urusan yang menyebabkan wali kelas berhalangan masuk, kelas 2 pun diserahkan kepada saya sepenuhnya.
Untuk siswa kelas 2, cukup sulit untuk saya berperan sebagai fasilitator dan pendamping saja. Perlu tenaga dan kesabaran untuk menstimulus imajinasi mereka. Walaupun begitu, pada akhirnya mereka sangat luar biasa, terciptalah kelas dengan nama “Kelas Sang Pemimpi”. Saya bertanya mengapa diberi nama ini, mereka menjawab karena ada banyak mimpi yang mereka bayangkan.
Khusus untuk kelas 2, saya menuliskan pohon impian dan menggambar buah apel masing-masing sepuluh buah pada tiap pohon. Saya mencontohkan pada satu apel dengan sebuah nama salah satu anak di kelas ini dan menuliskan cita-citanya.
“Ika, impian kamu nanti ketika beranjak dewasa apa?” tanya saya sambil menuliskan namanya pada sebuah gambar apel.
“Impian saya menjadi seorang koki, Bu,” jawab Ika.
Saya pun menuliskan impian Ika pada buah apel di pohon harapan. Setelah itu, dilanjutkan anak-anak yang lain untuk menuliskan sendiri nama dan impian mereka.
Adapun untuk kelas 1, saya yang membuatkan langsung display literasi pada pintu kelas mereka. Saya membuat kalimat dengan menggunakan kertas origami berbeda warna yang saya gunting berbentuk segiempat kecil, dan menuliskan huruf pada setiap kertas.
Setelah berbentuk sedemikian rupa, saya menggantungkannya pada tali, dan saya kaitkan pada permukaan depan pintu. Sengaja saya membuat bolak-balik dengan kalimat yang berbeda, yang bertujuan untuk melatih membaca dan berpikir anak.
Untuk kalimat umumnya adalah “Kelas Literasi 1A dan 1B”, dan pada sisi belakangnya saya tulis dengan kalimat “Lagi Belajar”. Ketika yang sedang belajar adalah kelas 1A, kertas origami harus dibalik pada huruf 1B dan akan terlihat adalah simbol kepala anak laki-laki dan anak perempuan yang berkerudung. Demikian pula jika yang sedang di dalam kelas adalah kelas 1B.
Melihat ada benda menarik yang menarik di depan pintu kelasnya, terlontarlah pertanyaaan kritis siswa kelas 1 sambil membolak- balikkan huruf di depan pintu. Mereka juga tampak mencoba untuk mengeja huruf-hurufnya.
“Bu, kelas literasi itu apa?” tanya mereka.
“Kelas yang di dalamnya ada anak-anak yang rajin membaca dan menulis,” jawab saya dengan penjelasan sesederhana mungkin agar dapat dipahami. Lalu, saya menjelaskan kepada mereka dan kepada wali kelas mereka tentang display literasi di pintu itu. Belakangan, di kemudian hari gayung bersambut. Guru-guru berencana ingin pula membuat display. []
[Disalin dari Buku “Bagaimana Ini Bagaimana Itu”, DD Press. Penulis: Syarifah Reza Ayu Nurimani]