Mendidik Dengan Cinta dan Ketegasan

Mendidik Dengan Cinta dan Ketegasan

Mengajar siswa sekolah dasar kelas 1 itu sarat permasalahan yang harus dihadapi dan diselesaikan satu per satu. Mulai dari siswa yang belum cukup umur, siswa berkebutuhan khusus, hingga siswa superaktif.

Menghadapi siswa yang belum cukup umur, atau lebih tepatnya belum siap sekolah, seorang guru harus siap bertindak seperti pengasuh di tempat penitipan anak. Dengan berbagai alasan, orangtua ingin anaknya segera sekolah; mendesak pihak sekolah untuk menerima anak mereka sebagai siswa baru. Padahal, beban guru menghadapi siswa kategori ini sungguh berat.

Anak-anak itu tidak mau menulis dan membaca. Setiap hari menangis di kelas selalu saja terjadi. Di sinilah dibutuhkan ketulusan hati dan semangat untuk mendidik sepenuh hati. Kadang harus membelai rambut, mengelus pungggung, senantiasa memberi bimbingan supaya mereka mengerti apa yang harus dilakukan dalam proses belajar. Dengan sentuhan kasih sayang, mereka yang awalnya tidak mau menulis, sedikit demi sedikit bisa menulis sampai terbiasa menulis.

Siswa berkebutuhan khusus pun demikian, menambah rumitnya pengelolaan kelas. Meski siswa kategori ini lebih mudah untuk diatasi karena cenderung diam, tetap saja mereka bagian kelas yang harus mendapatkan pelajaran yang sama dengan siswa lainnya. Sayangnya, mereka belum kunjung mampu mengikuti pembelajaran karena keterbatasan yang ada. Meski belum bisa menjadikan mereka menuju perkembangan yang baik, setidaknya saya berhasil mengikat mereka secara emosi.

Melalui pendekatan bahasa seorang ibu, mereka bisa mengikuti kegiatan belajar di kelas dengan tertib. Lain halnya dengan anak superaktif. Suara mereka mengalahkan suara gurunya, inginnya terus bergerak, mengganggu teman sebelahnya, atau berkelahi di tengah-tengah pelajaran.

Selain sentuhan kasih sayang, bagi siswa kategori ini harus diberikan aturan yang jelas dan tegas. Mereka tetap harus diajak berdiskusi tentang kesepakatan aturan dan sanksi. Semua kesepakatan pun tertulis dengan jelas di dinding kelas.

Pada awalnya saya masih menoleransi ketika ada yang melanggar aturan. Namun, saya tersadar, buat apa ada aturan kalau tidak diterapkan? Setelah itu, setiap seminggu sekali aturan kelas dibacakan oleh salah satu siswa dan benar-benar dijalankan dengan serius. Hasilnya positif, meski awalnya ada beberapa siswa yang sempat diberi sanksi karena melanggar, belakangan terbentuk kedisiplinan yang sangat bagus di kelas saya.

Masih soal cinta dan ketegasan, saya juga harus menjaga komitmen dalam menaikkan siswa. Soal ini saya pernah menghadapi ujian. Tiga tahun lalu,
saya harus menunda kenaikan salah seorang siswa. Siswa itu memang belum layak naik ke kelas 2. Tentu saja, saya memutuskan ini dengan pertimbangan masak yang dilandasi cinta. Untuk apa naik kelas 2 kalau kemudian malah menjerumuskan anak tersebut dalam banyak kesukaran?

Rupanya orangtua si anak tidak terima dengan putusan saya. Ayahnya mencoba membujuk saya untuk mengubah putusan bagi sang anak. Saya bergeming karena merasa sudah benar. Gagal membujuk saya, Kepala Sekolah pun didatangi.

Kepala Sekolah menemui saya untuk menanyakan kemungkinan perubahan putusan. Saya tetap tegas menolak. Saya bersyukur tetap teguh dalam pendirian ini walau ayah anak itu dikenal sebagai preman kampung yang dikenal bisa melakukan tindakan membahayakan bahkan sempat mengancam nyawa saya.

Walau si ayah tidak mau tahu, saya benar-benar mencintai anaknya itu. Saya tidak ingin siswa saya itu seperti di kisah Laki-laki Baik Hati dengan Kupu-kupu. Hanya karena kasihan melihat calon kupu-kupu yang hendak keluar dari kepompong, seorang lelaki yang baik hati merasa iba dan kemudian mengambil gunting.

Dibukanya kepompong tersebut dengan hati-hati sampai kemudian tampak seekor kupu yang lucu keluar berjalan. Sampai hari berikutnya laki-laki itu hanya melihat kupu-kupu tersebut merangkak dan tidak bisa terbang, sampai akhirnya menemukannya mati dan dipanggul puluhan semut.

Sungguh laki-laki baik hati itu tidak tahu bahwa yang dilakukannya adalah bencana bagi kupu-kupu. Allah menciptakan kepompong yang harus dipecahkan oleh kupu-kupu itu sendiri sebagai cara untuk menguatkan sayap-sayapnya. Selama belum bisa memecah kepompongnya berarti memang kupu-kupu itu belum waktunya keluar dan belum siap untuk terbang. Yang dilakukan laki-laki itu justru menjadikan kupu-kupu keluar dengan sayap yang masih mengerut dan lemah; menjadikannya hanya bisa merangkak sebelum akhirnya mati.

Jelas saya tidak ingin memiliki siswa-siswa yang lemah dan mudah kalah dalam mengarungi kehidupan mereka. Saya tetap tegas menyatakan ‘tidak’ untuk menaikkan siswa yang belum layak untuk dinaikkan dengan risiko apa pun. Dan syukurlah, ancaman yang dikhawatirkan tidak pernah terjadi. Tentunya dengan penjelasan dan pendekatan baik secara intensif kepada orangtua siswa.

[Disalin dari Buku “Bagimu Negeri, Kami Setia Mengabdi”, DD Press. Penulis: Lasmiani]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

shares