Tantangan Wali Kelas Enam

Tantangan Wali Kelas Enam

Saya adalah guru termuda di SDN 40 Pangkalpinang (Bangka Belitung). Meski guru termuda, saya dipercaya menjadi wali kelas 6. Saya tertantang untuk mengemban tugas ini. Sebab, salah satu yang harus saya lakukan adalah mempersiapkan mereka menghadapi Ujian Nasional dan Ujian Akhir Sekolah. Saya harus berusaha sekuat tenaga memikirkan berbagai cara agar mereka dapat lulus dengan nilai yang baik.

Anak-anak memang mudah menerima pelajaran bahasa ataupun pelajaran sosial. Namun, ceritanya lain untuk Matematika. Sejujurnya, ketertinggalan sebagian besar siswa dalam Matematika ini cukup membuat saya pusing. Akan tetapi, saya coba mengevaluasi diri; apa-apa saja yang harus saya perbaiki dan lakukan dalam mengajarkan Matematika ke siswa.

Salah satu yang saya lakukan adalah mengulang dan membahas materi yang belum mereka kuasai. Bentuknya berupa les tambahan saat jam pelajaran usai. Upaya ini saya lakukan enam bulan sebelum Ujian Nasional berlangsung. Bagaimana hasilnya? Ada siswa yang berkembang, ada pula yang tetap kesusahan. Walau sudah mengikuti les tambahan bahkan bimbingan belajar, ternyata kemampuan anak didik berbeda-beda.

Upaya lain yang saya tempuh adalah memanggil orangtua siswa yang kurang dalam Matematika. Saya ingin para orangtua ikut serta membantu mengawasi anak-anak mereka ketika di rumah. Jangan sampai karena anaknya sudah disekolahkan dan diikutkan bimbingan belajar, lantas orangtua lepas tangan tidak mau ikut dalam mendidik dan mengawasi mereka di rumah.

Menjadi wali kelas 6 rupanya bukan hanya soal memikirkan nilai akademis siswa yang masih bermasalah. Kenakalan-kenakalan mereka yang memang akan memasuki usia pubertas juga kadang memusingkan saya. Misalnya anak laki-laki yang sering menggoda anak perempuan, atau pergaulan di luar sekolah dengan anak-anak yang lebih tua, semua ini terkadang membuat masalah-masalah baru.

Yang juga cukup memusingkan saya adalah adanya salah satu siswa kelas 6 yang sering bolos sekolah. Pagi berpamitan ke orangtuanya untuk berangkat sekolah, ternyata sampai pelajaran berakhir ia tak juga muncul di sekolah. Berkali-kali saya memperingatkannya, namun masih saja ia melakukannya. Memanggil orangtuanya juga tidak mendatangkan hasil positif. Padahal, saya terbilang sering mendatangi rumahnya untuk berdiskusi dengan orangtuanya. Bahkan, saking seringnya saya mendatangi rumahnya, saya justru merasa tak enak hati sendiri.

Cara terakhir yang saya tempuh adalah dengan memberinya ancaman, dan menghadapkan siswa tersebut ke Kepala Sekolah. Singkat cerita, ia pun mau bersekolah pada saat Ujian Nasional dilaksanakan. Saya jelas sangat senang. Padahal, saat pelaksanaan Ujian Nasional setiap paginya saya was-was bila ada siswa yang tidak datang. Sampai-sampai saya selalu siaga untuk menjemput siswa yang belum hadir sampai detik-detik terakhir.

Alhamdulillah, hasil jerih payah saya berbuah manis. Anak itu berhasil lulus. Seluruh temannya juga lulus dengan nilai yang cukup baik.

[Disalin dari Buku “Bagimu Negeri, Kami Setia Mengabdi”, DD Press. Penulis: Pardi Mantowiyono]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

shares