Bagaimana Mendisiplinkan Siswa?

Bagaimana Mendisiplinkan Siswa?

Saya sudah mengajar di sekolah ini sudah hampir sepuluh tahun. Banyak suka duka mewarnai hidup saya dalam mendidik siswa yang punya berbagai macam karakter dan keunikan. Kelas 3C menjadi tanggung jawab saya selama setahun ini.

Belajar dari tahun sebelumnya, saya tidak ingin berulangnya lagi kegagalan mendisiplinkan anak didik. Berbekal pengalaman mengikuti pendampingan sekolah yang diadakan PT Trakindo Utama dan Makmal Pendidikan Dompet Dhuafa, saya terinspirasi untuk membuat strategi mendisiplinkan anak yang terbiasa datang terlambat ke sekolah.

Guru-Guru di sekolah memang sering bilang, “Kalau ada Ibu Agustina Aman, semuanya pasti aman.”

Saya dan guru-guru pun tertawa dengan selorohan yang membawa-bawa nama saya. Maklumlah nama saya Agustina Aman. Berbekal nama ini, saya harus membuktikan bahwa kelas saya juga harus aman, utamanya ‘mengamankan’ siswa yang sering datang terlambat ke sekolah.

Pada mulanya saya memberi hukuman memungut sampah sebanyak 50 lembar. Setelah saya perhatikan beberapa minggu, hanya sedikit perubahan yang ada. Siswa yang dihukum juga tidak terlalu jera karena memungut sampah di halaman sekolah memang sudah menjadi kebiasaan warga SDN 264 Wawondula, Luwu Timur (Sulawesi Selatan).

Meski gagal, saya tidak berhenti putus asa. Mulailah saya mengeluarkan senjata kedua, yakni memberikan hukuman lari keliling lapangan sebanyak sepuluh kali putaran. Saya berharap, bentuk hukuman kali ini lebih mengefek. Sayangnya, anak-anak yang dihukum masih saja mengulangi perbuatannya. Besar kemungkinan, mereka menganggap hukuman ini ringan karena lapangan di halaman sekolah kami memang tidak terlalu luas. Alih-alih menyesal, mereka justru senang berlari-lari di halaman sekolah saat jam istirahat.

Saya pun merenung. Tak selamanya hukuman (punishment) bisa membuat guru berhasil dalam mendidik. Apalagi dalam kasus yang lain, hukuman yang saya berikan justru berakhir menyedihkan hingga membuat hati kecil ini menangis. Saya pun berniat mengubah bentuk hukuman pada semester II. Saya memilih memberikan hadiah sebagai cara untuk membuat kedisiplinan siswa bisa stabil. Saya kemudian mengkreasikannya dengan minat saya yang senang mencoba hal unik.

“Anak-anak, besok semua harus membawa botol bekas ya?”

“Untuk apa, Bu?” Tanya mereka penasaran.

“Mulai besok, yang duluan datang ke sekolah akan mengisi botol itu dengan empat biji batu kerikil kecil untuk yang paling pertama. Yang datang pada urutan kedua berhak mengisi botolnya tiga biji batu kerikil. Yang datang pada urutan ketiga akan mengisi dua biji kerikil. Untuk urutan keempat dan seterusnya hingga pukul 06.50 berhak mengisi botolnya masing-masing satu biji kerikil.”

Siswa-siswa masih serius mendengar penjelasan saya. “Setiap habis semester, Ibu Guru akan menghitung siapakah tiga orang dari kalian yang paling banyak mengisi botolnya dengan batu kerikil itu, yang berhak mendapat hadiah dari Ibu Guru. Bisa dipaham anak-anak?”

“Bisaaaa, Bu….” Jawab mereka dengan penuh semangat. Keesokan harinya, saya pun dengan semangat 45 menunggu kehadiran mereka
satu per satu beserta botol air mineral bekasnya masing-masing. Betul-betul semangat mereka itu. Ada siswa yang tiba di sekolah pagi-pagi sekali demi untuk empat biji batu kerikil.

Siswa yang selama ini ‘langganan’ terlambat ke sekolah memang awalnya belum 100 persen berubah. Tapi, setelah melihat botolnya selalu kosong, beberapa minggu kemudian ia pun mulai terlihat rajin ke sekolah, dan tidak terlambat pula. Sehingga, ia pun bisa seperti temannya yang lain: mengisi botolnya dengan satu biji kerikil.

Sekarang usaha saya sudah berbuah manis, tak lagi tragis, karena sukses mendisiplinkan anak-anak yang selama ini cukup sulit diatur. Saya hanya bisa berdoa semoga tak hanya tahun ini, bahkan selamanya mereka bisa disiplin meski tak ada reward maupun punishment.

[Disalin dari Buku “Bagimu Negeri, Kami Setia Mengabdi”, DD Press. Penulis: Agustina Aman]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

shares