Menjadi Guru “Happy Ending”

Menjadi guru mata pelajaran muatan lokal Bahasa Inggris tingkat sekolah dasar sudah saya jalani hampir 15 tahun, tepatnya sejak 1 juli 1999. Banyak suka duka yang saya hadapi.
Mulai dari penyiapan materi, alat peraga, dan juga cara melafalkan kata-kata dalam bahasa Inggris. Soal pelafalan inilah tantangan yang paling banyak memerlukan adaptasi. Sebab, dialek sehari-hari saya adalah Sumatera, sedangkan saya harus menyampaikan materi dan kosakata berlogat Amerika atau Inggris.
Sebenarnya saya bukan lulusan Pendidikan Bahasa Inggris. Ditambah tantangan melafalkan dengan tepat, saya ingin tetap menjadi model pembelajaran yang tepat bagi peserta didik. Karena bagaimanapun juga guru adalan anutan, termasuk dalam hal pelafalan berbicara. Jangan sampai yang saya berikan justru salah. Karena itulah, mau tak mau saya harus berusaha meningkatkan kemampuan diri dalam berbahasa Inggris.
Untuk persiapan materi mengajar, saya menyesuaikan dengan buku pegangan guru dan LKS siswa. Untuk alat peraga, saya melibatkan siswa untuk membuat karya sendiri berupa gambar, angka, anggota tubuh, dan sebagainya. Karya mereka tersebut kemudian dilaminating. Untuk menambah kosakata, saya rajin mendengarkan kaset, VCD, dan media ajar lainnya.
Alhamdulillah, dengan ikhtiar serius tersebut saya dinyatakan lulus ujian kursus bahasa Inggris level mahir yang diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan Kota Pangkalpinang melalui bidang pendidikan luar sekolahnya.
Selain itu, saya juga dinyatakan lulus sertifikasi mengajar bahasa Inggris tingkat nasional pada 2005 di Malang (Jawa Timur). Selama dua tahun berturut-turut, yakni pada 2007 dan 2008, saya dinyatakan lulus oleh sekolah bahasa Inggris jarak jauh yang diadakan oleh Litbang Jakarta dengan predikat Baik dan Amat baik.
Ada banyak pengalaman yang berkesan ketika saya mengajar. Salah satunya saat seorang siswa ‘menguji’ saya lewat pertanyaan. “Tupai dilempar ke dinding lalu bonyok bahasa Inggrisnya apa, Pak?” Antara sungguh-sungguh bertanya, berpura-pura, atau mungkin sekadar mengetes saya. Sebab, siswa yang bertanya itu ikut pula kursus bahasa Inggris di luar sekolah.
Ditanya seperti itu saya berusaha tetap tenang sembari tersenyum di hadapan para siswa. Jujur saja, saat itu kosakata sangat minim. Dengan percaya diri dan tetap tenang, saya memminta siswa itu mengulangi pertanyaannya.
“Oh, itu yang kamu tanyakan ya? Sebenarnya materi kita belum sampai di situ.” Ujar saya setengah berpura-pura menutupi ketidaktahuan. “Tapi ndak apalah, Bapak akan jawab pertanyaan kamu dengan syarat kamu jawab dulu pertanyaan Bapak.”
Saya pun membuat pertanyaan balik yang membuat siswa tersebut berpikir cukup lama. “Bahasa Inggrisnya ‘kucing hitam jatuh lalu mati’ apa?”
Siswa itu menggelengkan kepala. “Tidak tahu, Pak.” “Nah karena kamu tidak tahu jawabannya, maka pertanyaanmu pun belum bisa Bapak jawab sekarang, insya Allah pertemuan berikutnya saja.”
Untuk mencairkan suasana, soal yang saya berikan tadi saya jawab dengan pelesetan. “Anak-anak, bahasa Inggris ‘kucing hitam jatuh lalu mati’ adalah the black cat gedebug ngek….”
Siswa-siswa pun spontan tertawa riang. Saya memang selalu menginginkan setiap akhir pembelajaran berakhir dengan happy ending. Siswa dibuat terkesan dan senang, salah satunya dengan kelakar bahasa. Saya ingin, siswa senang dengan gurunya. Berawal dari sinilah mereka akan suka materi apa pun yang disampaikan gurunya itu.
[Disalin dari Buku “Bagimu Negeri, Kami Setia Mengabdi”, DD Press. Penulis: Kemas Muhammad Amir Husin]