Mendampingi Siswa Kelas Satu

Mendampingi Siswa Kelas Satu

Juni 2013 pertama kalinya saya menjadi guru di kelas 1 SDN 003 Sangatta Utara, Kutai Timur (Kalimantan Timur). Perasaan saya galau karena\ bertahun-tahun saya mengajar di kelas tinggi sebagai guru mata pelajaran Agama Katolik. Saya membayangkan perjuangan menghadapi anak-anak yang polos dan lucu, serta cara membentuk sikap dan perilaku mereka.

Jumlah kelas 1 ada 28 siswa dari latar belakang orangtua yang berbeda, dan berbeda pula cara mendidiknya. Awal tahun ajaran baru saya masuk kelas penuh semangat. Saya siap dengan bahan ajar yang sudah direncanakan. Di benak hati yang paling dalam, saya ingin selalu menebarkan senyuman manis untuk dipandang anak-anak.

Saat saya berdiri di depan kelas, saya tersenyum dan menyapa anak-anak. “Selamat pagi anak-anak! Boleh Ibu berkenalan dengan anak-anak? Siapa yang mau menjadi sahabat Ibu?”

“Saya Bu!” Jawab siswa riuh. Sungguh luar biasa antusiasme anak-anak itu. Hari pertama masuk sekolah biasanya pembelajaran perkenalan. Anak-anak diminta maju satu per satu untuk memperkenalkan diri. Semua mau melakukannya, kecuali satu anak. Dia bersikeras tidak mau maju. Saya pun menghampirinya. “Mengapa tidak mau maju memperkenalkan diri di depan kelas, Nak?”

“Saya takut sama Ibu. Suara Ibu gede.” Jawab siswa bernama Guitari Denting Ramadhania itu menahan cemas. Saya tersenyum lalu memeluknya dengan penuh sayang. “Nak Tari, Ibu sudah terbiasa dengan suara yang gede, jadi jangan lihat suaranya. Lihatlah wajah dan senyuman Ibu manis. Itu tandanya bahwa Ibu orang baik hati, sayang sama anak-anak.”

“Ibu juga orangtua kedua dari kedua orangtuamu yang ada di rumah. Jadi, mulai hari ini Tari jangan takut lagi dengan suara Ibu yang gede ya.” Lanjut saya meyakinkan. Saya senang, tak lama kemudian Tari mau maju dengan percaya diri untuk memperkenalkan dirinya di depan kelas. Dan mulai hari itu juga, siswa kelas 1 tidak ada lagi yang takut-takut. Mereka sudah menganggap saya sebagai ibu mereka.

Seiring berjalannya waktu, sebagai guru saya merasakan bahwa tidaklah mudah untuk terus memberikan yang terbaik demi mencerdaskan anak bangsa di bawah bimbingan saya. Saya mendapati beberapa siswa kelas 1 belum bisa membaca. Saya kembali membayangan cara supaya anak-anak itu bisa membaca.

Saya mulai mencobanya dengan metode Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, dan Menyenangkan (PAIKEM). Dalam proses pembelajaran saya selalu menggunakan ice breaking, dengan bernyanyi dan memakai kata ‘hai’ atau ‘halo’.

Untuk ice breaking berupa sapaan ‘hai’ dan ‘halo’, anak-anak kurang bersemangat, terutama siswa yang belum bisa membaca. Namun, untuk ice breaking berupa nyanyian, mereka justru sangat menyukainya. Akhirnya saya menemukan solusi jitu untuk anak-anak yang belum bisa membaca, yakni dengan bernyanyi.

Untuk anak-anak yang sudah bisa membaca, proses belajar terus berjalan seperti biasa. Adapun bagi anak-anak yang belum bisa membaca, saya pisahkan sementara untuk dibimbing hingga bisa.

Kepada anak-anak yang belum bisa membaca, saya mengajak mereka bernyanyi, terutama lagu-lagu yang mereka suka. Di sini saya mulai memperkenalkan huruf yang ada di lagu yang mereka nyanyikan. Cara ini terus-menerus saya lakukan sampai mereka mampu mengenal huruf. Setelah mengenal huruf-huruf yang ada di lagu, saya mengajak mereka untuk menggabungkan kata. Saya memperkenalkan kata-kata yang ada di dalam lagu sampai mereka paham.

Selain dengan bernyanyi, saya juga menciptakan persahabatan dengan anak didik saya. Saya selalu menyapa, memberi senyuman yang menyenangkan penuh perhatian terhadap semua peserta didik. Walau senyuman ini lebih diniati untuk memotivasi siswa dalam belajar, tidak disangka pada 19 Juni 2014—bertepatan dengan perpisahan siswa kelas 6 saya dinyatakan sebagai guru terfavorit kedua di sekolah.

[Disalin dari Buku “Bagimu Negeri, Kami Setia Mengabdi”, DD Press. Penulis: Yinta Tima]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

shares