Kenangan Perjuangan Awal

Tulisan ini tentang awal saya meniti perjuangan sebagai guru. Sebuah perjalanan sebelum akhirnya saya mengajar di SDN 6 Sungai Danau, Tanah Bumbu (Kalimantan Selatan).
Sebagai istri yang ingin berbakti, saya selalu berusaha membantu kehidupan suami. Segala pekerjaan yang bisa menghasilkan uang halal saya terima dengan ikhlas. Dari tukang cuci, tukang masak, hingga berjualan nasi pernah saya jalani. Sampai suatu hari seorang teman sekampung mengajak saya mengajar di kota sebagai guru honor di sebuah sekolah swasta.
Saya tidak menolak tawarannya. Menurut saya, di mana pun saya berada, ilmu yang pernah saya dapatkan pasti bisa berguna untuk orang lain. Kebetulan pendidikan saya cukup untuk bisa sekadar berbagi ilmu dengan anak-anak tingkat sekolah dasar.
Dalam bayangan saya, sekolah yang ditawarkan itu seperti gambaran sekolah pada umumnya. Di luar dugaan, semua bayangan itu sirna. Amat mengenaskan kondisi sekolah yang dikelola sebuah yayasan tersebut. “Ya Allah, ini bukan sekolah, tak layak sama sekali.” Begitu gumam saya spontan.
Sekolah hanya didirikan di atas bekas bangunan mushala yang sudah hampir roboh. Fasilitas belajar siswa hanya berupa meja dan kursi plastik kecil hasil pinjaman sekolah sebelah yang juga masih satu yayasan namun terbilang sudah cukup maju.
Pada saat itu saya melihat wajah-wajah lugu tengah memandangi saya dengan penuh kasih. Ada sekitar sepuluh anak dengan pakaian seadanya, sebagiannya tanpa beralas kaki. Sebagian anak terlihat tidak terurus.
Perasaan saya begitu bergejolak. Hati nurani ini benar-benar tersentuh, entah dorongan dari mana saya menyatakan setuju untuk ikut mengajar. Tidak terlintas di pikiran untuk menanyakan besar honor yang akan saya terima.
Beberapa bulan berjalan, saya sekali pun tak pernah mendapatkan gaji. Bahkan saya yang sering membelikan buku dan pensil untuk siswa dari hasil menyisihkan sebagian penghasilan suami yang pada saat itu masih sebagai pekerja serabutan.
Entah mengapa, saya justru merasa bahagia dengan keadaan saat itu walau kepiluan yang sering saya hadapi bersama para siswa. Pernah suatu hari kapur tulis kami habis. Salah satu siswa saya suruh untuk meminta kapur ke sekolah sebelah. Tapi, anak itu pulang dengan tangan kosong.
Tiba-tiba ia langsung memeluk saya dan berkata, “Ibu, aku dimarahi sama ibu guru di sebelah. Katanya, ‘selalu saja minta kapur!’”
Saya ingat, anak itu memeluk saya sampai bergetaran tubuhnya. Terasa begitu perih jiwa ini pada saat itu. Saat itu saya pas benar-benar tak memiliki uang untuk sekadar membeli kapur tulis. Akhirnya kami pun melaksanakan kegiatan belajar mengajar dengan hanya tanya-jawab. Sambil menghibur siswa-siswa, saya bercerita dan mendongeng yang lucu lucu sampai mereka bisa sedikit melupakan kepedihan yang baru saja dialami.
Waktu begitu cepat berlalu, dengan segala pengalaman sedih, pedih, pilu, yang saat itu terlalu banyak kami lewati. Sebagian orang masih memandang sebelah mata dengan keadaan sekolah kami. Sampai pada tahun selanjutnya ada sedikit perubahan. Teman sekampung saya yang juga guru honor di sekolah yang sama, bersama suaminya yang menjabat sebagai kepala sekolah, begitu gigih memperjuangkan kemajuan sekolah kami. Padahal, saat itu orang-orang yayasan yang mendirikan sekolah benar-benar tutup mata dan telinga dengan keluhan kami.
Dengan kegigihan dan tekad yang kuat, Kepala Sekolah berhasil memasukkan guru-guru sebagai pegawai honor daerah. Saya termasuk di dalamnya. Alhamdulillah, sekolah kami juga mendapat bantuan dari pemerintah daerah berupa dana yang cukup untuk membangun beberapa kelas.
Sampai akhirnya kami pun pindah ke bangunan yang lumayan layak disebut sekolah. Walau masih dengan keterbatasan, setidaknya sudah ada kemajuan. Mulai saat itu pula kami semakin bergairah menjalankan kegiatan belajar mengajar. Ditambah lagi ada kemajuan sikap dari pihak yayasan, yakni mulai memerhatikan dan sama-sama berpikir keras untuk kemajuan sekolah.
Perjalanan saya sebagai guru di sana, sayangnya, harus berakhir. Ada beberapa sebab yang mengharuskan saya meninggalkan sekolah tercinta tersebut. Kenangan pahit dan manis masih terukir jelas di hati seiring kepergian saya untuk mengabdikan diri di sekolah yang berbeda.
Saat ini, saat saya sudah menjadi guru di SDN 06 Sungai Danau, saya masih berdoa agar anak-anak di sekolah terdahulu saya tersebut tetap melanjutkan perjuangan menuntut ilmu. Tiadanya saya dalam membersamai mereka di kelas bukan halangan untuk terus dan terus belajar.
Masih terngang jelas pesan-pesan saya untuk mereka. “Jangan lelah untuk selalu berdoa. Berusaha, belajar dan terus belajar. Pertahankan semangat juang kalian yang hebat itu. Suatu saat pasti ada penghargaan, dari manapun datangnya, walau Ibu tahu kalian tak pernah berharap adanya penghargaan untuk perjuangan kalian.”
[Disalin dari Buku “Bagimu Negeri, Kami Setia Mengabdi”, DD Press. Penulis: Rubiati Noor]