Guru Sekolah Terpencil

Tanggal 30 Maret 1993 saya dan rekan-rekan guru menerima surat keputusan penempatan tugas mengajar. Kami berkumpul di depan kantor Gubernur Kalimantan Selatan untuk menerima SK tersebut. Perasaan senang dan cemas bercampur. Senang karena sudah menjadi CPNS. Cemas karena belum tahu tempat mengajar.
Saat itu adalah momen pertama pengangkatan khusus guru sekolah dasar untuk daerah terpencil. Di Kalimantan Selatan memang banyak daerah terpencil, yang paling banyak berada di Kabupaten Pulau Laut (Kotabaru). Selain selembar SK yang kami terima, ada lagi yang unik waktu itu, yaitu setiap CPNS menerima dua paket bekal yang harus dibawa ke tempat tugas. Paket itu berisi buku-buku pelajaran, senter, kelambu, radio kecil, dan sepasang sepatu but. Kenapa dua paket yang kami terima? Karena kami dititipi satu paket lagi untuk kepala sekolah tempat kami ditempatkan.
Amplop pun dibuka. Alhamdulillah, saya ditempatkan di SDN Giri Mulya 1 Kecamatan Kusan Hulu Kabupaten Kotabaru. Esok harinya, saya bersama suami tercinta berangkat dari Banjarmasin menuju tempat mengajar. Setelah Shalat Subuh, kami berangkat naik Yamaha tahun 1975. Beberapa kali kami harus berhenti untuk bertanya lokasi yang kami tuju. Maklum saja, ini baru pertama kalinya kami menginjakkan kaki di Kotabaru.
Kira-kira pukul empat sore kami tiba di sebuah pintu gerbang yang bertuliskan “Selamat Datang”. Di situlah kami bertanya sekolah dasar yang kami tuju. Masyarakat setempat menyarankan pada kami untuk menginap terlebih dulu. Sebab, saat itu hujan sangat lebat, sementara medan yang ditempuh berupa tanah kuning yang mudah lengket di roda motor.
Setelah beristirahat sebentar, ada seseorang yang kebetulan ingin menuju desa yang sama. Maka, kami mengikuti orang tersebut. Ternyata benar, medan atau jalan yang kami lewati sangat sulit. Tidak sampai 100 meter, kendaraan harus berhenti karena banyak tanah yang lengket pada roda. Setelah melalui medan yang berat, sampailah SD yang dituju. Waktu itu jam menunjukkan pukul 18.00. Jadi, kami butuh waktu sekitar 12 jam untuk jarak tempuh kurang lebih 225 km dari kota provinsi.
Lega rasanya hati ini setelah melihat daerah tempat tugas pertama saya mengajar. Ternyata desanya adalah penduduk transmigrasi dari pulau Jawa dan Bali. Di sana ada dua buah SD yang berdekatan, yaitu SDN Giri Mulya 1 dan SDN Giri Mulya 2.
Setelah bertemu dengan Kepala Sekolah, saya diizinkan menempati salah satu rumah dinas milik sekolah. Saya disambut dengan senang karena adanya penambahan tenaga pengajar di sekolah itu. Penduduknya pun ramah-ramah. Di sekitar sekolah terdapat penduduk transmigrasi yang berasal dari Bali, yang terbagi atas Bali Muslim dan Bali Hindu. Kebetulan kepala sekolah saya berasal dari Bali Hindu.
Beliau juga seorang pemuka Hindu. Murid-muridnya pun banyak yang beragama Hindu. Sedangkan di SDN Giri Mulya 2, tidak ada yang beragama Hindu. Padahal, jarak antara kedua SD itu hanya kurang lebih 200 meter.
Ada satu pengalaman yang unik. Waktu itu SD kami libur satu hari, sedangkan di SDN 2 tidak libur. Kepala sekolah dan dewan guru SDN 2 pun bertanya kepada saya, “Mengapa SDN 1 libur? Padahal kan bukan hari libur nasional?” Ternyata ada perayaan Galungan yang tidak ada di kalender. Karena mayoritas murid SDN 1 beragama Hindu, sekolah libur satu hari.
Setiap ujian sekolah, ada empat SD yang harus bergabung melaksanakan ujian, dengan lokasi bergantian. Kebetulan tahun 1993 itu giliran sekolah kami sebagai penyelenggara ujian sekolah. Jadi, ada tiga sekolah yang harus menginap di SD kami selama ujian berlangsung.
Hari demi hari, bulan demi bulan, saya jalani tugas sebagai guru daerah terpencil. Tapi, hanya berjalan satu tahun saya pindah tugas ke SD yang baru karena harus mengikuti jejak suami tercinta. Bagi saya, seberapa jauh jarak untuk memberikan pendidikan, maka semakin banyak pengalaman mengajar yang akan saya dapatkan. Termasuk saat saya bertugas di SDN 6 Sungai Danau sekarang.
[Disalin dari Buku “Bagimu Negeri, Kami Setia Mengabdi”, DD Press. Penulis: Siti Aisyah]