Senyum Terindah untuk Siswa

Saya mengajar di SDN 01 Padang Panjang, Tabalong (Kalimantan Selatan) sejak 2007. Sampai saat menuangkan pengalaman dalam tulisan ini, saya masih berstatus honorer. Saya ingin bercerita awal-awal menjadi guru, tepatnya di tahun kedua pengabdian. Setelah mengajar siswa kelas 3, saya ditugasi Kepala Sekolah untuk meng ajar kelas 1.
Saat pertama kali hendak mengajar kelas 1, saya membayangkan aktivitas ini mudah. Sebab, yang bakal saya hadapi adalah anak-anak yang polos, lucu, dan belum tahu apa-apa. Dan saya mengira, saya akan mengajar di depan kelas yang tenang, tertib, dengan wajah-wajah yang memerhatikan pada saat saya mengajar, mengagumi saya sebagai guru walau saya masih guru baru.
Semua bayangan yang indah serta mudah dalam mengajar itu hilang seketika. Anak-anak yang polos dan manis berubah menjadi anak-anak yang berisik, berantakan, serta anak yang tidak mau tahu. Semua ini tentu menjadi masalah buat saya, apalagi saya baru mengajar atau guru pemula. Di sinilah mental saya diuji.
Saat istirahat, saya minta pendapat kepada guru-guru yang lain tentang cara mengatasi anak-anak yang tidak bisa memerhatikan dan selalu mengobrol saat pelajaran berlangsung. Sayangnya, jawaban yang diberikan kurang memuaskan. Hanya dengan ditegur anak-anak jelas tidak akan mempan. Sudah beberapa kali saya menegur anak yang membuat gaduh kelas, hasilnya nihil.
Walau begitu, saya masih tetap dengan jurus andalan saya, yaitu memasang wajah yang terlihat marah ataupun cemberut agar anak-anak takut dan patuh kepada saya, setiap masuk kelas. Padahal, saya tahu, jurus ini sama sekali tidak baik, tidak bagus untuk ditiru, karena di sini saya sangat egois terhadap anak-anak.
Pernah saat saya menjelaskan ada dua orang siswa mengobrol dan tidak memerhatikan saya sama sekali. Dengan emosi saya memukul meja saya dengan penggaris. Terang saja semua siswa yang ada di kelas secara spontan diam serta kaget. Dengan mata tajam saya memandang dua anak yang mengobrol tadi. Diamnya anak-anak membuat saya puas dan tenang serta melanjutkan kembali pem belajaran. Saya sebenarnya tidak ingin bertindak seperti itu lagi, tetapi hanya dengan cara inilah saya baru bisa membuat anak-anak diam dan mendengarkan penjelasan saya.
Begitulah, selama empat tahun saya menjalankan pola mengajar dengan wajah yang menakutkan bagi siswa, dan saya menganggap seolah murid itu musuh saya yang harus ‘ditaklukkan’. Dan celakanya, setiap tahun pula murid-murid yang nakal ini berubah-ubah pola dan sifatnya. Ada saja yang membuat darah saya ini naik.
Sejujurnya selama empat tahun itu pula saya merasakan jenuh, bosan, dan capek dengan kondisi kelas yang saya ciptakan sendiri. Saya berusaha agar siswa-siswa saya paham dan mengerti dengan materi yang saya ajarkan (sayangnya, saya tidak ada keinginan untuk tahu perasaan anak-anak didik saya). Saya merasa usaha saya selama ini belum berhasil. Walau anak-anak diam dan patuh, belum tentu mereka paham dan mengerti dengan yang saya ajarkan.
Dengan saya adakan ulangan harian setiap dua minggu sekali, hanya 50 persen siswa yang bisa menjawab dengan baik. Ini adalah bukti bahwa saya belum berhasil mendidik dan mengajarkan materi kepada anak-anak.
Dari pengalaman selama empat tahun saya mengajar dengan metode seperti itu, saya pun merasa lelah, bosan, bahkan bingung mau mengajar dengan cara apa lagi. Alhamdulillah, pada tahun kelima saya bertugas, sekolah kami diikutkan dalam program pendampingan sekolah bersama PT Trakindo Utama dan Makmal Pendidikan Dompet Dhuafa. Kehadiran Pendamping Sekolah amat membantu saya dalam mengatasi persoalan selama empat tahun bertugas.
Saya ikut pelatihan dan belajar banyak hal dari Pendamping Sekolah. Saya kembali termotivasi untuk menjadi guru. Tentunya guru yang berubah sikap saat mengajar. Saya ingat salah satu trainer pernah mengatakan, “Sambutlah anak-anak kita dengan senyuman yang paling manis sehingga anak didik kita merasa nyaman dengan kita.”
Nasihat itu langsung saya praktikkan. Pada saat memasuki kelas, saya tersenyum dan menyapa murid-murid dengan senyuman. Mungkin agar anak-anak tidak takut lagi dengan saya, dan saya ingin dianggap sebagai sahabat mereka. Bukan lagi musuh yang perlu ditakuti atau harus ‘dimusnahkan’. Saya ingin suasana kelas yang nyaman, penuh kasih sayang, ada tanya-jawab, agar terjalin keakraban antara saya dan anak-anak.
Bagi saya ini adalah awal yang menyenangkan. Sepanjang hari tidak ada bentakan, tidak ada pukulan di meja yang membuat anak-anak takut. Semua mengalir begitu indah. Meski belum semua anak ikut bersemangat, paling tidak saya sudah berusaha untuk menerima mereka apa adanya. Itulah anak-anak, tidak bisa dipaksakan.
Sejak saat itu pula anak-anak tidak segan lagi untuk bertanya. Kadang saya membuat sesuatu agar suasana kelas tidak tegang. Ada waktu untuk tertawa, ada waktu untuk belajar. Semuanya terasa nyaman, damai, dan menenteramkan hati ini. Senyum ternyata bisa mengikat emosi guru dan anak-anak. Dengan adanya ikatan guru dan anak-anak, mereka tidak segan untuk mencoba sesuatu pelajaran.
Walau hasilnya belum tentu benar, mereka berani untuk mencoba. Sejak saat itu sampai sekarang saya selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk anak didik saya. Dalam hati saya bertekad: akan menciptakan senyum yang paling indah dan senyum manis untuk sahabat-sahabat kecil saya.
[Disalin dari Buku “Bagimu Negeri, Kami Setia Mengabdi”, DD Press. Penulis: Norwahyulianti]