Menjadi Guru Bijak

Anak itu ibarat kertas putih yang bersih. Kertas itu akan berwarna apabila dicoreti warna sesuai dengan yang kita inginkan. Sebagai pendidik, tentu warni yang kita berikan sesuai dengan visi-misi sekolah. Secara pribadi, sebagai guru Agama Islam, saya mempunyai visi-misi khusus pada anak didik, yang tentunya harus selalu berpegang pada Al-Quran dan Hadits Rasulullah Saw.
Anak didik sejatinya ladang amal untuk bekal kita menuju alam yang kekal dan abadi. Dalam mencari bekal tersebut, tidaklah selalu berjalan mulus. Banyak tantangan yang harus dijawab. Setidaknya ada dua tantangan, yakni anak yang sering dilabeli ‘nakal’, dan anak yang belum cerdas. Dari kaca mata agama, anak yang dikatakan ‘nakal’ itu ladang amal yang paling banyak. Sungguh, Allah akan menilai pada tingkat kesukaran yang kita hadapi.
Anak dibilang ‘nakal’ oleh orang banyak namun hakikatnya ia tidak seperti itu. Semua orang tentu tidak mau berbuat salah atau menyusahkan orang lain, apalagi anak kecil yang masih seperti kertas putih. Sering kali pendidik kurang mendalami bagaimana latar belakang atau permasalahan anak ‘nakal’ tersebut.
Bahkan bisa dikatakan, pendidik tidak mau tahu karena selalu sibuk dengan hal-hal lain. Kita juga tidak mau berbaur dengan mereka, kita tidak mau mendengar keluh kesah mereka. Sebaliknya, kita mau mereka itu berubah secara instan sebagaimana yang kita harapkan. Padahal, Allah menurunkan firman-Nya juga secara bertahap, tidak sekaligus.
Anak yang disebut ‘nakal’ butuh didekati. Tanya masalahnya, berikan pujian pada kelebihan yang dimilikinya. Jadikan ia sahabat, dengan diri kita sebagai teman tempat berkeluh kesah.
Lain lagi cara menghadapi anak yang belum cerdas. Mereka juga ladang amal pendidik. Betapa tidak, menghadapi anak yang belum cerdas berarti melatih kita untuk bersabar dalam mengajar dan membimbing mereka. Kita harus berpikir jauh ke depan. Anak yang belum cerdas yang kita bimbing bukan dengan kesabaran, bisa jadi akan bernasib kurang baik lantaran mendapatkan tekanan dan respons kurang bersahabat terhadap mentalnya.
Anak-anak yang belum cerdas ini perlu dibimbing dengan kesabaran. Berikan mereka penghargaan, jalin hubungan baik dengan orangtua murid, kemudian carilah metode-metode atau teori yang bisa membantu mereka dalam menerima apa yang kita ajarkan. Tentu saja, kita juga senantiasa mendoakan mereka supaya diberikan kemudahan dalam menyerap ilmu.
Sebagai guru Agama Islam, saya berusaha keras untuk mendampingi dan membimbing anak-anak didik di sekolah dengan baik. Betapapun ‘nakal‘ dan ‘belum cerdas‘ mereka, saya percaya bahwa di tangan guru yang tepat menanganinya maka mereka akan bisa menjadi siswa yang berprestasi dan bertakwa. Dengan keterbatasan yang saya miliki, saya tetap belajar dan mencoba untuk menjalankan amanah yang memiliki tawaran banyak pahala ini.
[Disalin dari Buku “Bagimu Negeri, Kami Setia Mengabdi”, DD Press. Penulis: Baiq Siti Muliani]