Membangun Harapan di Kota Minyak

Akhir Agustus 2012 kali pertama saya menginjakkan kaki di Kota Tarakan dengan disambut senyum ramah langit yang menyapa cerah. Tepatnya SDN 014 Gunung Belah, Tarakan, tujuan kaki ini melangkah. Di sekolah inilah satu tahun lamanya saya akan mengabdi sebagai Pendamping Sekolah, sebagai realisasi program Makmal Pendidikan Dompet Dhuafa dan PT Trakindo Utama.
Manfaat pertama saat saya bergabung dalam program ini adalah tahu tentang Tarakan. Kota ini sebelumnya tidak pernah saya ketahui keberadaannya. Pelajaran yang saya terima sejak duduk di bangku sekolah dasar tidak menyinggung keberadaan kota ini. Seperti halnya saya, mungkin banyak yang menganggap Tarakan itu kota terpencil walaupun kenyataannya pelabuhan laut dan bandara udaranya sudah berstatus internasional.
Kota yang terletak di pojok kanan atas pada peta Pulau Kalimantan ini dikenal dalam sejarah sebagai Pearl Harbor-nya Indonesia. Masih di dalam catatan sejarah, Jepang mendaratkan pasukannya yang pertama di Tarakan ini dan untuk selanjutnya menguasai wilayah Indonesia selama 3,5 tahun.
Pada era Perang Dunia II, pasukan Jepang maupun Sekutu silih bergantian menguasai Tarakan dengan pertimbangan lokasi strategis dan kaya cadangan minyak. Sejak Jepang masuk sekitar 1942 hingga sekarang, Tarakan masih memproduksi minyak bumi. Sebutan ‘Kota Minyak’ pun disandang Tarakan.
Sejarah pendudukan yang dilalui Tarakan masih tampak bekasnya hingga sekarang. Gedung-gedung bersejarah dan bungker bekas Belanda dan Jepang misalnya. Menara-menara minyak peninggalan era kolonial juga masih bisa disaksikan jejaknya. Rumah-rumah peninggalan Belanda yang dahulu menjadi rumah para staf pekerja di perminyakan, saat ini masih dipergunakan. Daerah Distrik 1, 4, dan 6 yang juga merupakan daerah perumahan, kini disebut dengan Kampung 1, Kampung 4, dan Kampung 6.
Menakjubkan kekayaan Indonesia yang tidak semua orang mengetahuinya ini. Puji syukur, saya bisa menambah ilmu dan berada di tempat bersejarah ini. Terlebih lagi kos saya tinggal berada di pinggir laut, yang katanya kapal-kapal Belanda dan Jepang dahulu bersandar.
Setahun saya berada di Tarakan mungkin akan berlalu cepat bak tersapu angin laut. Membersamai para guru dan siswa dengan berbagai program dan pelatihan demi memajukan dunia pendidikan di sana dijalankan tanpa terasa. Demikian pula besarnya dukungan dari pejabat setempat pada kami, meringankan tekad memajukan pendidikan di Kota Minyak. Jangan sampai mereka hanya jadi penonton di tengah keriuhan pesta bangsa luar.
Semoga harapan-harapan yang ditumpukkan di pundak ini diberi kemudahan sehingga dalam mengembannya mampu mengubah harapan menjadi aksi nyata.
[Disalin dari Buku “2 Menyibak Mutu Pendidik”, DD Press. Penulis: Yunita Mandasari]