Menjadi Murid dan Guru

Ketika seorang guru dapat memberikan roh pada sebuah mata pelajaran, spirit itulah yang kelak menulari murid-muridnya. Di sisi lain, seorang guru harus bisa mengolah emosi murid, sekaligus mampu menciptakan suasana kelas yang hidup. Peran terpenting bagi seorang guru ialah sanggup menghidupkan jiwa, semangat dan menyalakan pelita dalam diri muridnya.
Mendapatkan perlakuan semena-mena dari sebagian guru mungkin dialami sebagian kita. Akibatnya, kita tidak nyaman menjalani proses belajarnya. Kesalahan siswa melahirkan label ‘bandel’ untuk disandangnya. Pengalaman masa lalu inilah yang mestinya jadi bahan renungan para guru. Cukup sudah kita yang pernah merasakan, jangan sampai anak didik tercinta mendapatkan perlakuan serupa dari kita, yang di masa lalu berada sebagai pihak korban.
Pergulatan semacam itu pun saya rasakan dalam posisi tidak sekadar menjadi guru. Ya, saya seorang Pendamping Sekolah, atau juga Konsultan Pendidikan. Saya tidak boleh meluapkan emosi begitu mudah di hadapan siswa. Padahal, kenyataan di lapangan sering berkata lain. Saya menghadapi situasi berbeda. Misalnya, murid-murid sulit diatur atau keinginannya selalu berlawanan dengan keinginan saya. Masih banyak lagi ulah mereka yang ‘wajar’ membuat para guru marah.
Masalahnya, apakah saya harus marah menghadapi itu? Saya dilema. Sebab, dahulu ketika menjadi siswa, saya paling tidak menyukai kemarahan guru. Apa pun alasannya. Saya ingin kemarahan itu ditiadakan, atau paling tidak kemarahan tidak diungkapkan dengan gerak tangan. Cukuplah redam dengan pandangan dan diam karena cara ini jauh menghunjam di jiwa siswa dengan tetap membuatnya nyaman.
Lantas, apakah yang saya lakukan? Apa yang saya inginkan dahulu, seperti itulah yang saya lakukan sekarang. Menatap mereka dengan diam. Menyalurkan dan memahamkan keinginan saya lewat tatapan. Sejauh ini, alhamdulillah, mereka paham, mungkin karena dilakukan dengan penuh harapan, penghayatan, dan keikhlasan.
Selain itu, saya selami pula kehidupan para siswa lebih dalam. Saya harus melakukan pendekatan personal. Saya harus mengetahui seluk-beluk kehidupan mereka. Memahami latar belakang keluarga mereka. Memahami cara dan kesulitan belajar mereka. Juga tentang lingkungan mereka tumbuh.
Selain itu, saya harus berpikir ekstra. Selain memikirkan sesuatu kebaikan yang ingin ditanamkan ke diri siswa, saya juga memikirkan langkah-langkah yang bisa dilakukan oleh siswa itu untuk mencapai kebaikan itu. Bukankah pada hakikatnya mengajar berarti memberikan solusi?
Salah satu solusinya adalah mengajar dengan smart teaching. Smart teaching merupakan cara efektif dan efisien untuk mengajar. Sulitkah? Tidak karena hanya dibutuhkan kesadaran bahwa kita sedang membangun sesuatu yang menarik. Ketika sesuatu sudah menarik, bagian yang lainnya akan mengikuti dengan mudah dan dengan sendirinya. Para guru dan pengajar harus menjadi sosok yang menarik, dikagumi, penuh karisma dan kehadirannya selalu ditunggu.
Yang juga tidak kalah pentingnya adalah positive words. Sampaikan ucapan dengan kalimat positif. Kalimat positif akan memacu otak untuk bekerja dengan senang, nyaman, dan bahagia. Otak kita sebenarnya tidak bisa menerjemahkan atau memproses kalimat negatif. Kita sebagai guru memang mesti menyiapkan alternatif-alternatif sarana menuju tujuan yang diinginkan. Bukan hanya mematok tujuan, dan meninggalkan siswa kebingungan untuk mencapai tujuan yang kita kehendaki.
[Disalin dari Buku “2 Menyibak Mutu Pendidik Jilid 1”, DD Press. Penulis: Sarmidayani Yusuf]