Bersahabat dengan Alung

Bersahabat dengan Alung

Hari pertama masuk sekolah pun tiba. Murid baru kelas 1 yang hampir semuanya diantar oleh orangtua masing-masing sudah berada di kelas. Pekan pertama kulalui dengan mengajak mereka berkenalan. Berkenalan denganku, dengan sesama teman, dengan Kepala Sekolah beserta dewan guru dan personel sekolah, dan terakhir lingkungan sekolah.

Seminggu membersamai mereka, pagi di pekan kedua, saatnya mulai mengajar. Tiba-tiba aku dikejutkan dengan suara
seorang muridku yang begitu lantang menyebutkan kata-kata kasar dan jorok. Mukaku sempat merah karena malu dan marah.

“Siapa yang tadi ngomong?” Spontan aku bertanya dengan nada keras.

Suasana kelas hening. Murid-murid terdiam mungkin mereka takut dengan suaraku yang keras dan marah.

“Ayo siapa tadi yang ngomong jorok?” Tanyaku lagi. Kembali tidak ada jawaban. Karena aku memang belum hafal dengan suara anak didikku satu per satu, aku hanya berpesan kepada mereka agar tidak berbicara kotor.

Menit demi menit berputar. Ketika anak-anakku sedang asyik membuat tulisan garis lurus dan aku sedang berkeliling untuk membantu murid yang belum paham, tiba-tiba ada satu anak didikku naik ke meja. Dia lalu meloncat, dan lagi-lagi kata-kata jorok itu terdengar lagi. Oh ternyata dia!

Syahrul Baihaqi nama anak itu. Dia biasa disapa dengan Alung. Hari-hari berikutnya tidak ada hari tanpa celotehan-celotehan dan omongan jorok yang selalu keluar dari mulut mungilnya. Nama-nama penghuni kebun binatang dan anggota tubuh manusia yang sensitif selalu dia ucapkan.

Bahkan ketika menggambar pun, Alung menggambar—maaf—organ vital laki-laki dan temannya pun disuruh untuk mengikuti gambarnya. Karena setiap hari Alung selalu mengucapkan kata-kata yang jorok dan itu diulanginya berkali-kali seperti orang latah, aku pun memanggil orangtuanya. Jawaban ibu Alung sungguh di luar dugaanku.

“Iya, Bu. Sudah biasa dia ngomong begitu,” kilahnya. “Kasih cabe aja, Bu, mulutnya biar kapok.” Aku terkesiap.

“Dibilangin sama saya enggak didengerin,” lanjut sang ibu. Kemudian aku mencari informasi dari orangtua murid dan teman-teman yang rumahnya berdekatan dengan Alung. Sempat juga aku temui guru TPA karena sebelum ke SD Alung belajar di TPA.

“Susah dibilangin, Bu. Ngomongnya begitu aja walaupun sudah dibilangin,” keluh guru TPA Alung. “Disetrap pun sudah sering tapi tetap saja tidak ada perubahan.”

Dari semua informasi yang kudapat, bisa disimpulkan bahwa omongan jorok itu terbawa dari lingkungan rumah. Hal ini aku konsultasikan ke Pendamping Sekolah, Bu Emalia Fatimah, untuk mendapatkan solusinya.

“Coba diberi perhatian khusus, Bu,” saran Bu Emalia.

Sabtu itu semua murid ke lapangan untuk berolahraga. Sebelum berolahraga, aku panggil Alung. “Alung, mulai hari ini Ibu ingin menjadi sahabat Alung.” Alung menjawab sambil berlari.

Sengaja aku berbaris di samping Alung. Aku ingin membuktikan bahwa aku benar-benar menjadi sahabatnya. Aku pun ikut jajan dan bermain bareng dengannya ketika istirahat. Cara ini kutempuh agar aku bisa langsung memberikan nasihat ketika ia bicara jorok. Tidak jarang juga aku duduk di sampingnya ketika dia sedang mengerjakan tugas.

Dua minggu sudah aku menjadi sahabatnya. Karena Alung merespons persahabatan ini, aku pun mulai membuat kesepakatan. Kesepakatan untuk tidak bicara jorok.

“Kalau dalam sehari Alung tidak ngomong jorok di sekolah sampai waktunya pulang, Ibu kasih hadiah.” Tawarku kepada Alung.

Dia sepertinya memikirkan kata-kataku. Semoga mau mengikutinya. Aku pun memberikan kesepakatan berikutnya tentang hadiah.

“Hadiah yang Ibu berikan berupa bintang. Bintang itu kalau sudah terkumpul tujuh bisa Alung tukarkan dengan hadiah dari Ibu. Alung boleh pilih mana yang suka.”

Mainan, makanan, dan alat tulis sudah kusiapkan untuk Alung pilih. Sebaliknya, bila dia tetap terus bicara jorok, aku siapkan hukumannya.

“Kalau ngomong jorok, Alung harus menulis kata yang itu tiga baris buat dibacain di depan Ibu.”

Untuk bulan pertama, Alung masih sering bicara jorok. Ujungnya, dia selalu minta maaf kepadaku. Cara minta maafnya sungguh membuatku haru bahwa dia sebenarnya memang ingin berubah. Dia akan menutup mulut dan menunduk seraya menghampiriku, “Maaf, Bu, lupa.”

Semester satu banyak perubahan yang terjadi pada diri Alung. Selain jarang bicara jorok, bahkan dapat dibilang tidak lagi bicara jorok, dalam belajar pun Alung mengalami peningkatan yang baik. Alung mendapat peringkat sepuluh besar.

Semester berikutnya, perubahan yang terjadi boleh kubilang luar biasa. Alung aktif di kelas, dan yang membuatku bangga lagi saat dia menjadi dirigen paduan suara untuk peringatan Hari Kartini!

[Disalin dari Buku “2 Menyibak Mutu Pendidik Jilid 2”, DD Press. Penulis: Riswati]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

shares