Senyum Terindah untuk Muridku

Senyum Terindah untuk Muridku

Sampai saat ini sudah tujuh tahun penuh saya mengajar di sekolah dasar. Pada tahun pertama saya membayangkan mengajar itu mudah karena yang dihadapi anak-anak yang polos, lucu, dan tidak tahu apa-apa. Impian mengajar di depan kelas yang tenang dan teratur, saya menghadapi wajah-wajah kecil yang tenang, mengagumi saya sebagai gurunya seraya duduk diam, patuh, dan manis. Tapi, impian saya buyar ketika anak yang polos dan lucu berubah menjadi makhluk yang berisik, berantakan, dan ada anak yang tidak mau tahu. Semua ini tentu masalah bagi saya
sebagai guru pemula.

Saat istirahat saya minta pendapat kawan-kawan guru. Suatu kali pernah saya bercerita tentang salah satu siswa. “Si A selalu mengobrol dan mengganggu temannya pada saat saya menjelaskan materi pelajaran.”

“Oh, dia dan si B memang kakak beradik yang selalu membuat keributan di kelas, abangnya dulu selalu membuat ulah. Bentak saja biar diam,” seorang guru menjawab kegelisahan saya.

Mulai saat itu setiap masuk kelas, saya tidak lupa jurus pamungkas: wajah cemberut, senyum sinis agar anak-anak takut dan patuh terhadap perintah. Di sini sebenarnya sudah terjadi keegoisan orang dewasa terhadap anak-anak. Pernah saat menjelaskan materi ada dua orang siswa mengobrol dan tidak memerhatikan saya. Dengan emosi saya sekuat tenaga memukulkan penggaris ke meja saya. Kontan semua yang ada di ruangan kaget dan diam mematung.

Entah apa yang di pikirkan mereka saat itu. Dengan egoisnya saya memandang wajah dua anak yang mengobrol itu. Diamnya anak-anak membuat saya puas dan melanjutkan kembali pembelajaran tanpa peduli apakah anak-anak paham tentang materi tersebut.

Selama tiga tahun saya menjalankan pola mengajar dengan wajah seram dan menganggap murid adalah musuh yang harus saya lawan dalam sebuah pertempuran. Sayangnya, pihak musuhnya selalu berubah tiap tahunnya. Kalau ada anak yang berisik saya langsung emosi dan mengeluarkan kata-kata ancaman yang seharusnya tidak diucapkan seorang pendidik.

Tidak ada abadi di dunia ini, rasa jenuh pasti pernah menghinggapi manusia mana pun, begitu juga dengan saya. Saya jenuh, capek dengan pertempuran yang saya ciptakan sendiri. Saya selalu berusaha agar anak-anak paham dengan materi pembelajaran tanpa berusaha memahami anak didik saya. Saya merasa belum berhasil dengan usaha saya selama ini. Walaupun anak-anak diam dan tidak ada yang mengajukan pertanyaan ketika saya menjelaskan materi, belum tentu mereka sebenarnya mengerti penjelasan saya. Buktinya, setiap kali ujian yang berhasil hanya 20 persen yang bisa menjawab dengan baik.

Dari pengalaman selama tiga tahun dengan metode tersebut, saya mencoba berbagi cerita dengan suami. Suami menyarankan saya mengikuti berbagai pelatihan guru. Awalnya saya tidak mau karena pelatihan di luar dinas tentunya tentu saja mengeluarkan biaya yang mengoyak kantong. Berkat dorongan suami akhirnya saya beberapa kali mengikuti pelatihan-pelatihan guru, dan ternyata hal itu bisa memotivasi saya untuk mengubah sikap saya dalam mengajar. Saya ingat sekali waktu itu salah satu motivator mengatakan begini, “Sambutlah anak-anak didik kita dengan senyuman yang paling indah sehingga anak-anak merasa nyaman bersama kita.”

Memasuki tahun keempat saya berjanji pada diri saya akan mengubah pola mengajar selama ini. Saya ingin semuanya terencana, menyenangkan, dan penuh kasih sayang. Awal tahun ajaran baru saya masuk kelas penuh semangat. Saya siap mengajar dengan bahan ajar yang sudah direncanakan. Yang pasti tidak lupa pula dengan senyum tulus dan terindah.

Saat saya berdiri di depan kelas, saya tersenyum dan menyapa anak-anak, “Selamat pagi semua! Boleh Ibu berkenalan dengan kalian? Siapa yang mau menjadi sahabat Ibu?”

Di luar dugaan saya, dengan antusiasme anak-anak menjawab, “Saya, Bu! Saya mau menjadi kawan Ibu!” Bagi saya ini sebuah awal yang sangat menyenangkan. Sepanjang hari itu tidak ada bentakan, tidak ada pukulan di meja. Semua mengalir begitu indah. Memang tidak semua anak ikut bersemangat, tapi saya berusaha menerima
mereka apa adanya. Itulah anak-anak.

Dengan senyuman ternyata bisa mengikat emosi guru dengan anak. Anak-anak tidak takut untuk bertanya materi yang tidak dipahaminya. Dengan menghilangkan emosi ternyata anak-anak tidak takut untuk mencoba sesuatu pelajaran walaupun dia bersalah. Sejak saat itu sampai sekarang saya selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk anak didik saya.

Pilihan saya sudah tepat. Tidak diduga, sepulang sekolah pada 2 Mei 2012, di rumah saya sudah menunggu 12 orang murid saya yang sudah duduk di bangku SMP. Mereka pun mulai bercerita yang intinya ternyata anak-anak itu semuanya masuk peringkat 10 besar di sekolahnya.

Saya bangga mendengarnya dan senang ternyata mereka masih ingat pada saya. Mereka adalah murid pertama saya yang menjadi sahabat-sahabat saya. Saat itu salah satu dari mereka mengungkapkan rasa senangnya terhadap saya ketika tersenyum di kelas. Saya terharu dan saya tidak bisa menahan air mata. Dalam hati, saya bertekad akan menciptakan senyum terindah untuk sahabat-sahabat kecil tercinta yang akan datang.

[Disalin dari Buku “2 Menyibak Mutu Pendidik Jilid 2”, DD Press. Penulis: Masdewani Siregar]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

shares