Aco Tamrin

Di SDN 003 Sangatta Utara, saya tergolong guru baru. Sejak awal 2013 saya baru bergabung sebagai pendidik di sini karena sekolah memerlukan satu orang lagi guru Agama. Walau di SDN 003 Sangatta Utara saya terbilang ‘hijau’, Sangatta sudah tidak asing lagi bagi saya. Tercatat sejak 1995 saya menjalani profesi guru di kota ini.
Tulisan berikut berisikan pengalaman mengajar yang tidak pernah saya lupakan. Maafkan bila ini berkaitan langsung dengan sekolah lama saya. Kendati demikian, semoga hikmahnya bisa menjadi renungan bagi kita semua, termasuk langkah saya ke depan di sekolah baru sekarang.
Tanggal 18 September 1995, hari pertama saya mengajar di sebuah sekolah swasta yang ada di Desa Sangatta Lama. Sejak semalam sebelumnya berbagai perasaan berbaur dalam hati ini. Rasa senang, bangga, juga khawatir karena besok akan dipanggil dengan sebutan ‘Bu Guru’, sebutan yang sudah saya cita-citakan sejak saya kecil.
Saya berangkat ke sekolah bersama teman satu sekolah yang baru saya kenal. Namanya Uminah. Kami menelusuri jalanan berlumpur, maklum saat itu jalanan di Sangatta masih tanah merah yang jika terkena hujan akan menjadi
lumpur yang sangat lengket. Setelah perjuangan melawan beceknya jalanan yang kurang lebih sejauh satu kilometer, sampailah kami di sekolah tempat saya bakal mengamalkan ilmu.
“Wah, Ibu pertama kali masuk mengajar disambut dengan cuaca dan kondisi khas Kota Sangatta. Mudah-mudahan tidak menyerah,” ujar seorang guru menyambut kami.
“Insya Allah, Pak,” balasku.
Akhirnya setelah berbincang-bincang dengan Wakil Kepala Sekolah, saya diberi amanah untuk mengajar di kelas 3 yang baru ditinggalkan gurunya beberapa bulan. Setelah bel tanda masuk berbunyi, saya mulai melangkah menuju ruangan kelas. Bayangan wajah-wajah mungil yang akan menyapa saya dengan ucapan ‘Selamat pagi, Bu Guru’ kembali hadir.
Seperti kebanyakan guru yang pernah saya lihat di sekolah dulu saat menjadi murid, dengan langkah yang sangat yakin saya masuki ruangan kelas dengan mengucapkan salam.
“Assalamu’alaikum, anak-anak….”
Secara serentak salam saya dijawab oleh murid-murid yang ada di dalam kelas tersebut. Perasaan senang dan bangga mulai menyelimuti hati saya. Setelah berkenalan dan pembukaan pelajaran, tiba-tiba saya dikagetkan dengan sebuah lemparan ke arah saya. Sebungkus mi instan tergeletak di dekat saya. Pelemparnya seorang anak laki-laki dengan postur paling besar di antara teman-temannya.
“Saya tidak suka belajar, apalagi dengan guru seperti Ibu!”
Mendengar kata-kata anak itu rasa runtuh semua bangunan kepercayaan diri saya. Tak terasa menetes air mata saya.
“Ya Allah, cobaan apa ini? Apa aku sanggup melanjutkan pelajaran hari ini?” Tanyaku di dalam hati.
Dengan menangis saya keluar dari kelas menuju kantor. Teman-teman di ruangan keheranan. Mereka bertanya perihal sebabnya. Setelah mulai tenang, saya pun bercerita. Teman-teman guru pun menjelaskan tentang siswa tadi.
Namanya Aco Tamrin. Dia memang selalu bertingkah yang menjengkelkan orang lain, begitu kata seorang guru. Dia anak yatim piatu yang diasuh oleh pamannya. Saya mulai mengerti mengapa Aco bertingkah seperti itu. Saya pernah mendengar informasi bahwa anak yatim piatu biasa bertingkah demi mencari perhatian orang lain dan ini menjadi ujian kesabaran bagi orang di sekitarnya.
Mengetahui latar belakang Aco sebagai anak yatim piatu, sejak saat itu saya berniat untuk lebih memerhatikannya dibandingkan kepada temantemannya. Jika di kelas saya beri dia pertanyaan yang sangat mudah sehingga dapat dijawabnya dengan tepat walau awalnya tampak ogah-ogahan. Setelah dipuji di depan teman-temannya bahwa jawabannya tepat, dia tersenyum bangga.
Sejak saat itu dia sangat gembira belajar dan senang bercerita kepada saya tentang perasaannya. Walau teman-teman guru masih menilainya sebagai anak nakal, saya merasa dia sudah cukup sopan untuk ukuran anak seusianya. Dia juga ternyata bisa diberi tanggung jawab, dan hal itu membuat dia dihargai dan mulai menghargai orang lain. Sayangnya, dia tidak sampai menamatkan pendidikan dasarnya di sekolah tersebut karena harus ikut pamannya berpindah domisili. Nama Aco sudah berganti dengan nama-nama yang lain seiring bergulirnya waktu.
Seperti perginya Aco, Sangatta pun melaju pesat tanpa terasa. Kini saya tercatat sebagai pengajar di sebuah sekolah teladan hasil program pendampingan PT Trakindo Utama dan Makmal Pendidikan Dompet Dhuafa. Dalam perjalanan menuju tempat mengajar sekarang, saya harus menggunakan alat transportasi air bernama ponton.
Saat menyeberang dari Sangatta Utara ke Sangatta Lama, saya melihat anak muda lengkap dengan seragam karyawan sebuah perusahaan mendekati saya. Tiba-tiba pemuda itu mencium tangan saya seraya berkata, “Apa kabar, Bu Nunung?”
Siapa dia? Dari mana dia tahu nama panggilan saya?
“Saya Aco Tamrin, murid Ibu waktu SD,” lanjut pemuda itu. Sambil melepaskan tangannya, saya terdiam mengingati kejadian masa lalu. Tidak lama, senyuman dan acungan jempol saya berikan untuknya. Sambil berlalu dia berkata, “Terima kasih banyak, Bu.”
Saya memandangi jejak punggungnya yang meninggalkan saya di belakang. Saya terharu dan tidak menyangka Aco sekarang bisa mengubah sangkaan saya kala dia pergi, berpindah sekolah. Aco Tamrin, nama itulah yang memotivasi saya untuk bangga menjalani profesi guru. Kepuasan batin seorang guru bukan terletak pada berapa banyak pemasukan yang kita terima, melainkan terletak pada berapa banyak generasi bangsa bisa tersenyum menggapai masa depannya dengan ilmu dan moral yang baik.
Semoga kisah sederhana saya ini menjadi inspirasi buat diri saya, teman seprofesi, dan juga calon-calon guru di tanah air tercinta.
[Disalin dari Buku “2 Menyibak Mutu Pendidik Jilid 2”, DD Press. Penulis: Nurshiam]