Mimpi Anak Petani

Mimpi Anak Petani

Masih ingat dalam benak ini, seorang anak kecil menangis sedih ketika membaca bait-bait puisi hasil goresan tangan mungilnya. Pada waktu itu, saya dipercaya untuk menjadi juri perlombaan baca puisi di sekolah empat saya mengabdi.
Anak ini mencuri perhatian sahabat saya yang juga menjadi juri. Dia berkata, “Semua peserta saya kasih nilai 70 saja.

Namun, untuk dia saya memberi nilai 95 poin.” Alasannya adalah penghayatan dan pembacaan anak yang berbeda daripada anak yang lain. Memang, anak itu sangat menghayati puisi yang berjudul “Aku Anak Seorang Petani”.

“Ini mengekspresikan ide-ide kita, Pak Irman,” jelas teman saya. “Anak ini memiliki visi ke depan yang diekpresikan dalam bait-bait puisi.”

Anak itu Siti Mufidatul Husna, siswa SD Inpres 44 Klamalu yang masih duduk di bangku kelas 5 saat saya bertugas di
sana. Dia anak petani yang hidup sederhana. Namun, di balik kesederhanaannya itu, dia memiliki impian. Impian anak Indonesia yang berada di kawasan Indonesia Timur yang jauh dari jangkauan para penguasa di Ibu Kota.

Impian dia sangat sederhana: menjadi guru dan manusia yang berguna untuk keluarga dan bangsanya. Sebuah cita-cita mulia dari anak seorang petani desa yang sederhana, yang mungkin mudah dicapai oleh anak-anak Indonesia di perkotaan. Alasannya menjadi guru adalah karena guru itu memberi ilmu kepada siapa pun. Sederhana, bukan?

Begitulah sederhananya pemikiran anak sekolah dasar yang ada di pelosok yang jauh dari hingar-bingar perkotaan yang bising dan kotor oleh napas ambisi manusia. Guru baginya merupakan sosok yang akan menjadi teladan bagi siapa saja, baik untuk dirinya, keluarga, maupun bangsanya. Para guru dalam benaknya mengantarkan anak-anak Indonesia ke gerbang kesuksesan.

Sejatinya anak-anak Indonesia harus memiliki impian, dan yang bisa mengantarkan impian anak-anak ini adalah para guru yang setiap hari berada bersama anak-anak itu. Sayangnya, sebuah ironi terpampang di negeri kita ini: masih saja ada oknum guru yang malas masuk sekolah untuk waktu yang sangat lama namun mereka gigih saat menuntut pembayaran gajinya. Ini belum termasuk oknum guru yang hanya datang ke sekolah namun hanya memberikan kebosanan bagi anak-anak didik.

Anak-anak Indonesia seolah dibodohkan secara tidak terasa, sehingga lembaga sekolah yang mestinya menyenangkan dan merangsang otak anak untuk kreatif berubah menjadi kebosanan dan kejenuhan. Hampir saya melihat di sekolah di pelosok negeri ini, para pendidik itu hanya terpaku pada satu metode saja, yakni ceramah dan ceramah. Anak didik bangsa ini dibiasakan hanya untuk mendengar, tanpa memberikan ruang bebas kepada mereka untuk mengekspresikan keinginan dan impian mereka.

Siti Mufidatul Husna adalah sosok anak bangsa yang harus dibina dan diantarkan kepada impiannya menjadi seorang guru bahasa Indonesia yang gemar menulis puisi. Diharapkan ke depannya dia bisa menjadi pengganti Si Burung Merak, WS Rendra, yang lantang menyuarakan kebenaran dengan puisi-puisinya.

[Disalin dari Buku “2 Menyibak Mutu Pendidik Jilid 2”, DD Press. Penulis: Irman Parihadin]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

shares