Menghadapi Anak Dimanja

Di antara sekian banyak siswa SDN 01 Padang Panjang ada seorang siswa—sebut saja bernama—Fandi. Dia putra seorang pengusaha tambang batubara di sana. Saya adalah guru kelas yang ingin menegakkan komitmen dalam tugas. Suatu hari Fandi tidak hadir berturut-turut selama lima hari tanpa kabar. Hari keenam saya menuju rumahnya yang berjarak satu kilometer dari sekolah. Sesampainya saya di depan rumah Fandi, saya ucapkan salam. Keluarlah orangtua Fandi.
“Ada apa guru?”
“Saya ke sini hanya ingin menanyakan anak Bapak yang bernama Fandi. Sudah lima hari dia tidak ke sekolah.”
“Fandi turun setiap hari ke sekolah tak pernah absen,” jawab ayah Fandi.
“Fandi benar sudah lima hari, dan hari ini hari keenam tidak ada di sekolah,” bantah saya.
Tiba-tiba ayah Fandi mengambil sepeda motor. Beliau menghidupkannya lalu pergi menuju sekolah. Saya mengikutinya dari belakang. Sesampainya di sekolah, beliau memanggil-manggil nama Fandi berulang-ulang. Tentu saja, Fandi tidak ada. Apakah beliau benar tidak mengetahui tentang anaknya yang membolos? Atau jangan-jangan….
Pada hari berikutnya setelah sepekan tak hadir, Fandi akhirnya muncul di sekolah. Setelah beberapa hari turun, saya pun menanyakan ketidakhadirannya dalam beberapa hari sebelumnya.
“Ulun (saya) memang dari rumah orangtua pergi ke sekolah, Pak,” jawab Fandi mengawali pembicaraan. “Tapi, di perjalanan ada teman mengajak masak-masakan, lalu saya mampir sampai siang dengan mengobrol. Demikian setiap hari, Pak.”
“Bagaimana dengan orangtuamu? Tahu atau tidak?” Tanya saya.
“Ayah saya tahu dan beliau merahasiakannya. Hanya saja Ibu benar-benar tidak tahu.”
Saya terdiam. Benar kecurigaan saya. Ada yang ganjil dengan tingkah laku ayah Fandi saat saya berkunjung ke rumahnya. Pertama, dia tidak mempersilakan saya masuk ke rumahnya untuk sekadar membicarakan masalah anaknya. Kedua, ucapan saya tidak terlalu ditanggapi dengan serius. Ketiga, beliau bertindak sendiri dengan datang ke sekolah tanpa mengajak atau konsultasi dengan saya.
Sepertinya Fandi anak yang dimanja oleh orangtuanya. Padahal, saya datang ke rumah orangtua Fandi didasari kekhawatiran apabila ada apa-apa pada buah hatinya itu. Siapa tahu ada sesuatu yang menimpanya.
Pengalaman yang saya alami ini mungkin pernah pula dialami rekan guru lain di tanah air. Saya mengangkatnya dalam buku semua bisa menjadi pelajaran bersama. Terkadang orangtua juga tidak mendukung komitmen kita dalam memajukan pendidikan. Di sinilah peran kita untuk menyelamatkan anak-anaknya yang telanjur dimanjakan dengan kekayaan.
[Disalin dari Buku “2 Menyibak Mutu Pendidik Jilid 2”, DD Press. Penulis: H. Hudari]